a a a a a
ATRIA ENERGI
 Berita sub header

Berita Terbaru

Bila Harga Batu Bara di Bawah US$ 60, Gimana Nasib Emiten?

Bila Harga Batu Bara di Bawah US$ 60, Gimana Nasib Emiten?

Market - Tirta Widi Gilang Citradi, CNBC Indonesia
12 May 2020 06:07


Jakarta, CNBC Indonesia - Harga batu bara acuan Australia dan Indonesia untuk kontrak yang ramai diperdagangkan cenderung naik dalam sepekan terakhir. Namun jika dibandingkan dengan awal tahun, harga batu bara masih tertekan dan berpotensi membuat perusahaan batu bara RI kena imbasnya.

Dalam kajian terbaru dari Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), disebutkan bahwa kejatuhan harga acuan batu bara akibat pandemi Covid-19 menimbulkan pertanyaan serius mengenai kondisi keuangan produsen batu bara Indonesia.

"Harga acuan batu bara Newcastle telah merosot dari harga US$ 70 per ton pada Januari ke US$ 58 per ton," ujar Ghee Peh, penulis laporan dan analis keuangan IEEFA, seperti dikutip CNBC Indonesia, Selasa (12/5/2020).

"Kejatuhan yang drastis ini mungkin terkesan tidak mengancam industri batu bara dunia, namun yang jelas hal ini merupakan pukulan berat bagi pelaku industri asal Indonesia."

Ditambah lagi, perusahaan batu bara memiliki kewajiban untuk membayar royalti pada pemerintah Indonesia sebesar 13,5% dari nilai penjualan batu bara. Dengan memperhitungkan kewajiban royalti, maka banyak produsen batu bara RI yang dikaji akan mengalami aliran kas yang negatif.

"Mengingat bahwa saat ini harga acuan batu bara berkisar pada rata-rata USD58 per ton pada tahun 2020, perusahaan-perusahaan ini akan mengalami masalah yang cukup serius ketika dihadapkan pada kewajiban membayar royalti. Dengan ini, ada kemungkinan bahwa perusahaan yang terdampak akan mengajukan permohonan untuk moratorium royalti," ujar Ghee.

"Jika memang moratorium diberlakukan, maka perlu dipertanyakan apakah akan diberikan kepada semua perusahaan atau hanya perusahaan dengan aliran kas negatif per ton batu bara yang terjual? Apabila memang moratorium royalti diberlakukan kepada seluruh sektor, maka hal ini berpotensi mengurangi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sampai dengan sebesar US$ 1,26 miliar [setara Rp 18,9 triliun]," kata Ghee.

Selain itu, analis IEEFA juga membedah kondisi keuangan dari 11 perusahaan batu bara yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) dalam laporan berjudul Can the Indonesian Coal Industry Survive COVID-19?

Kajian ini mengulas masalah profit kas per ton, biaya batu bara breakeven, pengendalian biaya di kondisi pandemi, serta risiko yang akan berdampak pada kemampuan perusahaan untuk membayar royalti batu bara kepada pemerintah di saat harga acuan batu bara rata-rata berada pada US$ 58 per ton.

Dari kajian itu, hasilnya menunjukkan bahwa beberapa emiten batu bara di BEI membutuhkan harga acuan batu bara di kisaran US$ 60-62 per ton agar dapat mempertahankan aliran kas yang mencapai breakeven.

"Saat ini harga acuan batu bara telah merosot bahkan menjadi lebih rendah dari US$ 60 per ton. Hal ini menimbulkan pertanyaan, bagaimana caranya perusahaan dengan biaya tinggi dapat memperoleh modal kerja untuk membiayai operasi mereka," ujar Ghee.

Dia mengatakan dalam 2 tahun terakhir memang merupakan tahun yang baik bagi produsen batu bara Indonesia karena harga acuan batu bara mengalami peningkatan yang tetap. Tetapi penurunan pada tahun 2020 terjadi dengan tiba-tiba dan tidak ada proyeksi akan harga terendah (floor price) atau suatu kerangka waktu untuk pemulihan.

"Kejatuhan yang tiba-tiba ini berarti bahwa para manajer tidak sempat memiliki waktu dan tidak berada pada posisi untuk melakukan upaya pengurangan biaya. Karena kejatuhan harga batu bara ini sama sekali tidak diperkirakan sebelumnya. Bahkan, sampai akhir Februari 2020 masih belum diperkirakan oleh para pelaku industri," katanya.

Pada Jumat pekan lalu (8/5/2020) harga batu bara termal acuan Newcastle (6.000 Kcal/Kg) ditutup di level US$ 52,9/ton. Sementara untuk harga batu bara acuan Indonesia dengan nilai kalori yang lebih rendah ditutup di US$ 25,59/ton. Harga batu bara dalam sepekan cenderung menguat 2%.

Harga batu bara memang merangkak naik dalam sepekan usai jatuh terlalu dalam. Untuk harga batu bara termal yang kontraknya ramai diperdagangkan kini masih berada di rentang harga terendahnya sejak Mei 2016.

Pandemi Covid-19 telah membuat banyak negara memilih lockdown untuk mengendalikan penyebaran virus.

Konsekuensi dari lockdown adalah penurunan konsumsi listrik terutama untuk aktivitas industri yang mengakibatkan peningkatan stok pasir hitam ini meningkat di berbagai pembangkit listrik. Kenaikan stok ini cenderung membuat permintaan batu bara melemah.

Harga batu bara yang anjlok terlalu dalam dan jatuh di bawah US$ 60/ton menjadi ancaman untuk perusahaan-perusahaan batu bara Tanah Air.



TIM RISET CNBC INDONESIA
Berita Bila Harga Batu Bara di Bawah US$ 60, Gimana Nasib Emiten?