Baru Sehari Melesat, Harga Batu Bara Langsung Terkoreksi
Market - Tirta Citradi, CNBC Indonesia 30 June 2020 09:40
Jakarta, CNBC Indonesia - Baru sehari menguat pada akhir pekan lalu, harga batu bara acuan Newcastle untuk kontrak yang ramai diperdagangkan langsung melorot di hari pertama perdagangan pekan ini.
Kemarin (29/6/2020), harga batu bara kontrak berjangka Newcastle melemah 0,55% ke US$ 53,9/ton. Pada pekan lalu harga batu bara sempat melesat di hari Jumat (26/6/2020) ke US$ 54,2/ton.
Pelaku pasar masih terus mencermati perkembangan terbaru pandemi Covid-19 secara global. Jumlah orang yang terjangkit secara global telah mencapai lebih dari 10 juta orang. Korban meninggal dunia sudah berada di atas 500 ribu jiwa.
Lonjakan kasus tidak hanya terjadi di Amerika Serikat saja, tetapi juga belahan dunia lain. China yang juga melaporkan adanya peningkatan kasus akhirnya memilih untuk mengkarantina Beijing sebagai episentrum baru wabah.
Sementara itu di Inggris, Menteri Kesehatan Matt Hancock meminta Leicester untuk kembali dikarantina lantaran laju infeksi Covid-19 di wilayah tersebut merupakan yang tertinggi jika dibandingkan dengan wilayah lain.
Hancock berkata sekolah dan beberapa toko yang dinilai kurang esensial harus ditutup dan warga dilarang untuk bepergian keluar maupun di dalam kota. "Kami tidak mengambil keputusan ini dengan mudah, tetapi kepentingan rakyat Leicester lah yang kami utamakan," kata Hancock.
Lonjakan kasus yang kembali terjadi akhir-akhir ini membuat WHO berkomentar. "Meski banyak negara sudah membuat kemajuan, secara global, pandemi terus merebak dengan pesat" kata Direktur Jendeal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus dalam sebuah video konferensi.
"The worst is yet to come" begitu kata Tedhros. "Saya mohon maaf harus mengatakan hal tersebut, tetapi dengan kondisis seperti sekarang ini kita takut hal yang terburuk akan tejadi. Oleh sebab itu kita harus menyatukan tindakan untuk melawan virus berbahaya ini bersama-sama" ungkapnya.
Sentimen negatif juga datang dari langkah berbagai negara terutama dari Eropa yang terus berupaya untuk menggunakan sumber energi yang lebih ramah lingkungan. Kali ini upaya tersebut datang dari Jerman.
Reuters melaporkan koalisi pemerintah Jerman dikabarkan telah menyetujui paket kompensasi untuk perusahaan utilitas yang beroperasi menggunakan hard coal (batu bara dengan ranking teratas seperti antrasit) sebagai bagian dari rencana Negeri Panser untuk beralih dari batu bara pada 2038 nanti.
Kesepakatan antara konservatif Merkel dengan koalisi Social Democrat (SPD) telah membuka gerbang ke parlemen untuk melakukan voting pada awal Juli nanti untuk menentukan nasib undang-undang yang mengatur habisnya masa penggunaan batu bara (phase out).
Perwakilan parlemen dari partai konservatif dan SPD mengatakan dengan kesepakatan tersebut maka perusahaan utilitas yang beralih dari batu bara ke gas akan mendapatkan bonus konversi 390 euro per kilowatt. Jauh lebih besar dari yang sebelumnya disetujui senilai 180 euro saja.
Bonus ini hanya diperuntukkan bagi pembangkit yang usianya tak lebih dari 25 tahun dan akan tersedia hingga akhir 2022 saja. Jika perusahaan utilitas mulai beralih ke gas setelah 2022 maka bonus yang diterima akan turun 25 euro per kilowatt setiap tahunnya.
Stasiun pembangkit yang berusia 25 - 35 tahun akan mendapat konversi bonus yang lebih rendah sebesar 225 euro jika mereka beralih ke gas.
Pemerintah juga ingin membujuk perusahaan utilitas yang tidak beralih ke gas untuk menutup pembangkit batu bara mereka dengan tender yang berjalan hingga 2026.
Di bawah rencana itu, perusahaan utilitas dapat mengajukan kompensasi jika mereka berencana menutup stasiun pembangkit listrik dan mereka yang memiliki penawaran terendah akan diberi kompensasi.
Setelah 2026, pembangkit listrik batu bara (hardcoal) akan terpaksa ditutup tanpa kompensasi. Tujuannya adalah untuk membuat pembangkit listrik Jerman bebas dari batu bara pada tahun 2033.
Nasib batu bara memang ditentukan oleh banyak hal. Selain dua faktor di atas ada beberapa hal lain yang juga patut dicermati pelaku pasar seperti tensi geopolitik antar negara, harga komoditas lain terutama minyak mentah, kebijakan impor China hingga ketersediaan dan keterjangkauan bahan bakar substitusi seperti gas alam.