a a a a a
ATRIA ENERGI
 Berita sub header

News Update

Ini Isi Revisi UU Minerba: Musuh Pemda, Kawan Pengusaha

Ini Isi Revisi UU Minerba: Musuh Pemda, Kawan Pengusaha

Keterlibatan pemda dalam penyelidikan dan penelitian pertambangan pun dihapuskan, dan menjadi milik pemerintah pusat secara mutlak yang diwakili oleh Menteri Energi dan Sumber daya Mineral (ESDM). Sebelumnya, kewajiban pemda melakukan itu diatur di pasal 11.

Hanya saja, Menteri diberi hak untuk memberikan penugasan kepada lembaga riset negara, BUMN, BUMD, dan badan usaha (swasta) untuk melakukan penyelidikan dan penelitian (guna menentukan WIUP).

Ini memberi angin bagi pengusaha swasta untuk terlibat dalam proses yang sebelumnya hanya dilakukan oleh pemerintah. Istilahnya, menteri bisa melakukan swastanisasi penyelidikan calon areal tambang. Posisi penting aktivitas penyelidikan ini bakal menentukan data sumber daya dan cadangan mineral wilayah tersebut.

Hak pemerintah pusat untuk melimpahkan kewenangan penetapan Wilayah Usaha Penambangan (WUP) ke pemda (di pasal 15) pun dihapuskan. Demikian juga dengan hak bupati/walikota menetapkan Wilayah Penambangan Rakyat (WPR) di pasal 21 yang dihapuskan.

Bagi pelaku usaha, aturan tambang bakal lebih fleksibel. Untuk Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), batasan cadangan primer logam dan batubara diperluas, tidak hanya berkedalaman 25 meter, melainkan boleh sampai 100 meter.

Luas maksimal WPR pun diperluas, dari 25 ha menjadi 100 ha. Lalu, WPR tersebut tidak lagi harus memenuhi syarat: harus sudah dikerjakan oleh rakyat minimal 15 tahun. Baru mau digarap pun sudah bisa dikategorikan WPR.

Dengan UU Baru ini, maka WPR akan bermunculan bak cendawan di musim hujan. Tidak menutup kemungkinan, perusahaan tambang akan memecah operasinya dengan mengubah status WPR, yang telah menjadi begitu fleksibel.
Namun untuk urusan jaminan, pemda tetap diminta pasang badan. Pasal 17 A memberikan jaminan untuk Wilayah Izin Usaha Penambangan (WIUP) dan WPR, di mana pemerintah pusat (dan daerah) menjamin tak akan ada perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan.


Spirit hilirisasi terlihat dari pemisahan kategori aktivitas pengolahan dan pemurnian. Di UU sebelumnya, keduanya digabung begitu saja di ayat 20 (pasal 1). Di UU yang baru juga diatur mengenai ‘pengembangan’ batu bara, yakni upaya meningkatkan mutu batu bara dengan tanpa mengubah sifat fisik dan kimiawinya.

Kewajiban penaikan nilai tambah barang galian pun diatur lebih detil, yakni dikategorikan menjadi tiga, yakni pengolahan dan pemurnian komoditas tambang mineral logam; pengolahan mineral nonlogam; dan pengolahan tambang batuan. Sebelumnya di pasal 102 hanya menyebut kewajiban penaikan nilai tambah tanpa detil tersebut.

Fasilitas pengolahan tersebut, menurut pasal 103 kembali ditekankan harus dilakukan di dalam negeri. Namun kali ini dengan adanya jaminan dari pemerintah bahwa hasil pengolahan tersebut akan dimanfaatkan. Dulu, jaminan serupa tidak ada.

Hilirisasi juga terlihat dengan ditambahkannya satu bab di UU hasil revisi, yakni Bab IVA, mengenai Rencana Pengelolaan Mineral dan Batubara. Pada akhirnya, insentif untuk mereka yang menggarap hilirisasi tambang pun muncul.

Jika ada perusahaan tambang yang melakukan aktivitas pengolahan dan atau permurnian, maka jangka waktu izin operasinya bakal ditambah yakni 30 tahun dan dijamin bakal diperpanjang selama 10 tahun. Jika cuma menggali atau menambang saja, maka izinnya paling lama hanya 20 tahun.

Hal serupa berlaku untuk pemegang IUPK untuk operasi produksi mineral logam & batu bara yang terintegrasi dengan fasilitas pengolahan/pemurnian. Itupun mereka bisa memperluasnya dengan mengajukan izin ke Menteri.

Namun ada kewajiban baru yakni penyediaan dana ketahanan cadangan mineral dan batu bara. Dana cadangan tersebut akan dipakai untuk membiayai kegiatan penemuan cadangan baru.

Jika pengusaha tambang mangkir dari kewajiban reklamasi dan kegiatan pascatambang, maka denda pidana 5 tahun penjara menunggu, dan harus membayar denda maksimal Rp 100 miliar. Semula, ketentuan ini tidak ada.
Perusahaan Modal Asing (PMA) pun kini diizinkan menggarap jasa penambangan, jika memang tidak ada jasa pertambangan lokal dan nasional. PMA ini pada umumnya bakal diperlukan untuk menggarap hilirisasi seperti gasifikasi batu bara, karena Indonesia belum memiliki kemampuan pengembangan teknologi pendukungnya.


UU Minerba ini juga mengatur mengenai Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang memberikan solusi dan jaminan kelanjutan usaha raksasa tambang eks-pemegang Kontrak Karya (KK) seperti PT Freeport Indonesia, atau pemegang Perjanjan Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).

IUPK pemegang kontrak karya dan PKP2B itu mendapat perlakuan khusus dengan dibedakan dari IUPK biasa. Hal ini diatur di pasal 35 ayat 3. Dalam ketentuan sebelumnya, hanya ada 1 jenis IUPK.

Dalam aturan yang baru, kewajiban pemerintah menetapkan Wilayah Pencadangan Negara (WPN)—sebagaimana termaktub di ayat 1 pasal 27—dihapuskan. Ketentuan bahwa WPN diperlukan sebagai kebijakan konservasi alam (di ayat 3 pasal sama) juga dihapus.

Apa itu WPN? Jika pernah mendengar ribut-ribut mengenai Kontrak Karya (KK) dan perpanjangan PKP2B, maka WPN ada di pusaran itu. Dalam ketentuan lama, KK dan PKP2B yang telah habis masa berlakunya harus kembali ke negara sebagai WPN atau dilelang dengan mengutamakan BUMN dan BUMD.

Kini, ayat 1 pasal 28 menyebutkan bahwa WPN bisa diubah menjadi WUPK dengan mempertimbangkan beberapa faktor, termasuk di antaranya perubahan status kawasan. Ayat kedua di pasal yang sama menegaskan bahwa WIUPK itu bisa berasal dari wilayah KK dan PKP2B.

Artinya, area konsesi tambang yang dioperasikan raksasa seperti PT Freeport Indonesia dan PT Adaro Energy Tbk dkk bisa diubah menjadi WUPK, tanpa harus balik ke negara sebagai WPN dan dilelang sebagaimana ketentuan sebelumnya.

Dalam penetapan WIUPK ini lagi-lagi keterlibatan pemda dihilangkan. Kementerian tidak lagi harus berkoordinasi dengan pemda, tetapi di pasal 31A ayat 2 ditegaskan bahwa pemda ikut menjamin tak ada perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan.

Ketika pemegang IUPK masuk tahap kegiatan operasi, maka luas WIUPK kini tak dibatasi khusus, dan diberikan berdasarkan evaluasi menteri ESDM terhadap rencana pengembangan pelaku usaha yang bersangkutan. Sangat fleksibel.

Mereka pun kelak tak lagi harus mengajukan izin sementara untuk mengangkut dan menjual hasil tambang mineral logam dan batu bara.

Yang paling hot mengenai divestasi 51% saham, ketentuan baru hanya mengatur bahwa divestasi saham langsung dilakukan secara berjenjang. Tidak ada lagi ketentuan mengenai divestasi harus dilakukan setelah beroperasi 5 tahun (dalam pasal 112).

Bisa dibilang, UU Minerba ini menjadi jalan tengah bagi pemerintah dan para raksasa tambang tersebut. Detil pengaturannya harus dipantau ketika Peraturan Pemerintah telah diterbitkan sebagai petunjuk teknis dan pelaksanaan UU versi baru ini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
Berita Ini Isi Revisi UU Minerba: Musuh Pemda, Kawan Pengusaha