Harga Batu Bara Ogah Gerak, Ternyata Ini Pemicunya
Market - Tirta Citradi, CNBC Indonesia 24 June 2020 11:18
Jakarta, CNBC Indonesia - Dewi fortuna masih belum berpihak kepada batu bara. Harga batu bara cenderung stabil di rentang bawah dalam dua pekan terakhir.
Kemarin (23/6/2020) harga batu bara Newcastle untuk kontrak yang ramai ditransaksikan melemah 0,94% ke US$ 52,85/ton. Sejak 10 Juni, harga batu bara bergerak di rentang sempit di US$ 52 -US$ 53 per tonnya.
Saat ini harga batu bara patokan China yaitu Qinhuangdao terus menguat dan kini harganya dibanderol di US$ 80,21/ton. Harga batu bara domestik China sebenarnya jauh lebih mahal dibandingkan dengan harga batu bara lintas laut (seaborne).
Dalam kondisi normal (tanpa pandemi), biasanya situasi seperti sekarang ini, impor batu bara China seharusnya melonjak karena harga batu bara impor jauh lebih kompetitif.
Namun pembatasan impor batu bara China sudah mulai dilakukan. Pembatasan ini untuk mendongkrak permintaan batu bara domestik.
Lagipula impor batu bara China sudah termasuk 'jor-joran' di bulan April ketika aktivitas ekonomi China mulai dipacu lagi pasca lockdown ketat.
Pekan lalu setidaknya tiga perusahaan utilitas China diminta oleh bea cukai lokal untuk membatalkan pengiriman 9-12 kapal kargo Supramax yang mengangkut 45-50 ribu ton batu bara (seaborne) untuk periode Juli dan Agustus.
Perusahaan-perusahaan utilitas tersebut dikabarkan telah menggunakan kuota impornya dan penjual diminta untuk mencari importir baru yang masih memiliki kuota di China. Reuters melaporkan kapal kargo tersebut kebanyakan berasal dari Indonesia dan Rusia.
Kebijakan ini jelas mempengaruhi dinamika pasar batu bara lintas laut ketika permintaan global sedang lemah dan harganya sangat rendah. Di saat yang sama harga batu bara China juga sedang mengalami kenaikan.
Beralih ke Negeri Ginseng dan Negeri Sakura, impor Korea Selatan dan Jepang hingga 19 Juni lalu masing-masing sebesar 0,74 juta ton dan 2,18 juta ton. Volume impor pekan lalu lebih rendah dari minggu sebelumnya yang masing-masing sebanyak 2,11 juta ton dan 2,83 juta ton.
Berdasarkan perkiraan Refinitiv, suhu udara di bagian Asia Utara akan cenderung lebih hangat sehingga kebutuhan pendingin akan meningkat. Seharusnya dengan kondisi seperti ini, permintaan terhadap batu bara akan lebih terdongkrak.
Namun harga gas yang sudah terlalu murah disertai dengan tekanan untuk beralih ke energi yang lebih ramah lingkungan membuat Korea Selatan dan China akan cenderung memilih gas.
Impor batu bara India juga masih rendah. Data Refinitiv Coal Flow impor batu bara pekan lalu hanya sebanyak 1,32 juta ton dan lebih rendah dari pekan sebelumnya 1,6 juta ton.
Di sisi lain pasar juga masih diliputi oleh kecemasan seputar kenaikan kasus infeksi Covid-19 di berbagai negara seperti Amerika Serikat (AS), Australia, China hingga Jerman.
Dalam dua pekan terakhir Texas, Arizona dan Nevada terus mencetak rekor kasus infeksi baru. Sementara itu Reuters melaporkan ada 10 negara bagian AS lain yang juga melaporkan adanya kenaikan kasus mulai dari Florida hingga Arizona.
Kasus di AS meningkat hingga 25% pada pekan yang berakhir di 21 Juni 2020 dibanding minggu sebelumnya. Kenaikan jumlah kasus ini membuat investor was-was kalau gelombang kedua wabah benar-benar terjadi.
Pelaku pasar cemas jika gelombang kedua wabah terjadi dan karantina wilayah atau lockdown kembali diterapkan. Apabila skenario buruk ini terjadi maka periode pemulihan ekonomi menjadi semakin melambat dan permintaan terhadap komoditas termasuk batu bara bisa semakin melemah.