a a a a a
ATRIA ENERGI

Berita

Anjlok 5% di Pekan Ini, Harga Batu Bara Terendah Sejak 2016

Anjlok 5% di Pekan Ini, Harga Batu Bara Terendah Sejak 2016

Market - Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
12 April 2020 09:55



Jakarta, CNBC Indonesia - Harga batu bara merosot tajam lagi di pekan ini, hingga menyentuh level terendah sejak 2016. Pandemi Covid-19 menjadi salah satu pemicu utama amblesnya harga komoditas itu.

Dalam empat hari perdagangan (sehari libur Jumat Agung) harga batu bara termal Newcastle terus mengalami penurunan 5,04% ke levelUS$ 59,4 per ton, berdasarkan data Refinitiv. Level tersebut merupakan yang terendah sejak 6 Juli 2016.

Pandemi Covid-19 yang "menyerang" 185 negara/wilayah membuat banyak negara mengambil kebijakan karantina wilayah (lockdown) yang menurunkan aktivitas ekonomi sehingga permintaan batu bara menurun.

China, negara yang pertama kali melaporkan Covid-19, sudah "menang" melawan virus tersebut. Penyebarannya sudah berhasil dihentikan dan aktivitas ekonomi mulai kembali berjalan. Tetapi tetap saja belum mampu memulihkan semua impor batu bara seperti semula.

Impor batu bara China pada pekan pertama bulan April 2020 total mencapai 3,3 juta ton. Lebih rendah dari periode yang sama tahun lalu sebesar 4,6 juta ton.

Sementara itu, di India yang sedang dalam kondisi lockdown, impor batu bara juga mengalami penurunan. India mengimpor 1,4 juta ton batu bara pada minggu pertama April. Jauh lebih rendah dari periode yang sama sebelumnya sebesar 4,8 juta ton.

Selain itu, batu bara termal Australia yang memiliki nilai kalori 6.000 Kcal/Kg, banyak diekspor ke negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan dan Taiwan. Namun pada pekan pertama bulan April, terjadi anomali impor batu bara di negara-negara tersebut.

Berdasarkan data Refinitiv, sejak akhir Maret hingga Rabu (8/4/2020), impor batu bara termal Korea Selatan dan Jepang masing-masing sebesar 0,9 dan 1,7 juta ton. Angka tersebut lebih rendah dibandingkan dengan 2,7 dan 3,2 juta ton yang diimpor selama periode yang sama tahun lalu di masing-masing negara.

Dalam beberapa bulan terakhir, permintaan batu bara di kedua negara tersebut cenderung rendah dan tak seperti pada umumnya.

Pelemahan permintaan batu bara dikarenakan musim dingin yang cenderung lebih hangat dari biasanya, dan upaya politik untuk memerangi emisi karbon.

Dari sisi politis, kelompok pemegang saham Mizuho dari Jepang dan Eropa terus menekan lembaga keuangan tersebut mengurangi penyaluran kreditnya untuk sektor batu bara dan energi fosil lainnya secara signifikan.

Kiko Network, sebuah organisasi non-pemerintah Jepang yang memimpin resolusi tersebut, menggambarkan Mizuho sebagai kreditur swasta terbesar di dunia bagi pengembang pembangkit listrik tenaga batu bara.

Mizuho mengatakan saat ini pihaknya sedang bekerja untuk mengurangi dampak penyaluran lingkungan akibat penyaluran kredit ke sektor energi fosil dan terus berupaya bersikap adil.

Tokyo pada 2015 berkomitmen untuk memangkas emisi gas rumah kaca sebesar 26% pada tahun 2030 dari level 2013 - ini merupakan target yang rendah. Namun di sisi lain, pemerintah terus membiayai proyek pembangkit listrik tenaga batu bara di luar negeri di negara-negara seperti Indonesia dan Vietnam.

Jepang bahkan berencana untuk membangun sebanyak 22 pembangkit listrik tenaga batu bara baru selama lima tahun ke depan, New York Times melaporkan pada bulan Februari, seperti yang diwartakan Reuters.

Keengganan Jepang untuk berhenti menggunakan batu bara, bahkan ketika negara lain beralih ke energi terbarukan, dapat ditelusuri kembali ke bencana Fukushima 2011. Saat itu, tiga reaktor di pembangkit listrik tenaga nuklir Daiichi mencair setelah gempa bumi dan tsunami melanda fasilitas itu.

Sejak itu, energi nuklir, yang pernah memasok sekitar sepertiga dari listrik Jepang menjadi sangat tidak populer. Kendala geografis negara ini membuat peralihan cepat ke energi terbarukan menjadi sulit. Data dari Institut Ekonomi Energi di Tokyo menunjukkan bahan bakar fosil menghasilkan tiga perempat energi Jepang pada 2019.

Jelas ini merupakan dilema besar. Apalagi, usulan tersebut datang saat warga negara lebih khawatir tentang pandemi dan resesi daripada perubahan iklim.
Bagaimanapun juga tekanan ini juga turut dirasakan oleh pasar batu bara karena menjadi ancaman bagi prospek batu bara jangka panjang.
Berita Anjlok 5% di Pekan Ini, Harga Batu Bara Terendah Sejak 2016