Pasar RI dan China Menjadi Kunci Terjaganya Kinerja BUMI
Market - Arif Gunawan, CNBC Indonesia 15 April 2020 11:03
Jakarta, CNBC Indonesia - Batu bara seringkali diidentikkan dengan energi yang bakal ditinggalkan, apalagi di tengah perlambatan ekonomi dunia tahun lalu yang membuat konsumsi energi menurun. Namun PT Bumi Resources Tbk mampu bertahan, berkat akses pasar China.
International Energy Agency (IEA) mencatat bahwa batu bara masih menjadi sumber energi utama dalam sistem energi global tahun lalu, dengan menyumbang nyaris 40% dalam sistem bahan bakar pembangkitan listrik di seluruh dunia.
Dalam laporan terbarunya tentang industri batu bara berjudul "Coal 2019", IEA menyebutkan bahwa tahun lalu terjadi penurunan permintaan batu bara dunia, setelah pada tahun 2018 sempat mencatatkan pembalikan (rebound) permintaan batu bara sebesar 1,1%.
Namun dalam 5 tahun ke depan, permintaan batu bara dunia diprediksi stabil. Pemicunya tak lain adalah maraknya pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di kawasan Asia, yang laju kenaikan permintaannya mencetak rekor tertinggi dalam sejarah. Tren kenaikan tersebut menambal lubang pasar di Eropa yang mulai banyak menutup PLTU mereka.
Indonesia dan Vietnam dinilai bakal memimpin permintaan batu bara di kawasan ASEAN tersebut, yang diperkirakan masih akan tumbuh lebih dari 5% per tahun sampai dengan tahun 2024 nanti.
Ini membalik proyeksi banyak kalangan sebelumnya yang memperkirakan tahun 2019 bakal menjadi tahun koreksi terbesar permintaan batu bara dunia. Proyeksi tersebut, misalnya, dikeluarkan oleh Carbon Brief yang mengekspektasikan konsumsi batu bara untuk pembangkit listrik bakal anjlok hingga 303.000 megawatt (MW) di tingkat global.
Proyeksi lembaga anti-energi fosil tersebut terpatahkan. Indonesia sebagai produsen terbesar batu bara di Asia Tenggara justru mencatatkan produksi sebanyak 610 juta ton tahun lalu, atau seperempat lebih tinggi dari target pemerintah dalam Rencana Kerja dan Anggaran Belanja (RKAB) sebanyak 489 juta ton.
Dari angka tersebut, sebanyak 138 juta ton dialokasikan ke pasar lokal untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri (domestic market obligation/DMO). Sisanya, yakni 472 juta ton diekspor. Angka ekspor ini bahkan melampaui estimasi IEA, yang dalam laporan risetnya memprediksi ekspor batu hitam tersebut dari Indonesia bakal berada di 450 juta ton.
"Dalam 5 tahun ke depan, permintaan batu bara dunia diperkirakan masih stabil, didukung oleh kuatnya pasar China yang menyumbang separuh dari konsumsi dunia," demikian tulis IEA dalam laporan yang dirilis pada 19 Desember 2019 tersebut.
Di China, impor batu bara tahun lalu tercatat naik 4% dibandingkan tahun 2018. Ini merupakan angka yang tertinggi dalam 4 tahun terakhir, sehingga menguntungkan industri batu bara di tiga negara yang selama ini menjadi pemasok utamanya yakni Australia, Indonesia, dan Rusia.
Situasi ini menciptakan keunggulan tersendiri untuk perusahaan batu bara Indonesia yang banyak memasok produknya ke pasar China, seperti misalnya PT Bumi Resources Tbk (BUMI) di mana investor besar asal Negeri Tirai Bambu yakni China Investment Corporation (CIC) menjadi pemegang saham pengendali (dengan kepemilikan 22,7%).
Dalam rilis kinerja keuangannya baru-baru ini, emiten berkode saham BUMI ini membukukan laba bersih US$ 6,34 juta atau Rp 101,43 miliar sepanjang 2019. Pendapatan tercatat US$ 1,11 miliar atau Rp 17,8 triliun, sedangkan laba usaha US$ 32,35 juta atau Rp 517,64 miliar.
"Laba bersih Bumi Resources masih positif hampir US$ 7 juta, tidak termasuk komponen non controlling US$ 98 juta karena perubahan saham kami di BRMS [OT BUmi Resources Minerals Tbk]," kata Direktur dan Sekretaris Perusahaan BUMI Dileep Srivastava, pada Senin (30/03/2020).
Capaian itu dibukukan meski kondisi harga batu bara dunia sedang tertejan. Menurut daya Revinitif, harga batu bara New Castle turun 31,5% dari US$ 97,51 pada akhir tahun 2018, menjadi US$ 66,75 pada akhir 2019. Di sisi lain, harga batu bara acuan Indonesia anjlok 32,7%, dari US$ 97,9 menjadi US$ 65,93 pada periode yang sama.
Sebagai perusahaan yang mengandalkan pasar ekspor, dengan porsi 60%, wajar jika penurunan harga batu bara dunia ikut menekan profitabilitas BUMI. Ini menjelaskan mengapa pendapatan perseroan tahun 2019 terhitung turun.
Namun jika diperhatikan, laju penurunan pendapatan perseroan sebesar 5,4% itu tidak separah koreksi harga batu bara di pasar dunia yang mencapai lebih dari 30%. Rahasianya terletak pada keberhasilan perseroan mendongkrak volume produksi dan penjualannya.
“Volume penjualan meningkat tajam sebesar 9% mencetak rekor tertinggi sebesar 87,7 juta ton dibandingkan 80,6 juta ton tahun lalu – penjualan KPC sebesar 61,8 juta ton atau naik dan menjadi level yang tertinggi, sedangkan Arutmin naik 2% dibanding tahun lalu,” kata Dileep.
Di sisi lain, perseroan berhasil menekan Cost of Goods Sold (COGS) atau harga pokok produksi (HPP) menjadi US$ 45,6 per ton, atau turun 2,8% dibandingkan dengan HPP pada 2018 yang berada di kisaran US$ 46,9 per ton.
Kenaikan penjualan ini juga didukung oleh produksi batu bara sepanjang 2019. Emiten batu bara terbesar nasional ini mencatat total produksi 2019 mencapai 87 juta ton, naik 5% dibandingkan 2018 dengan produksi 83 juta ton.
Untuk tahun 2020 ini, BUMI menargetkan produksi batu bara 90 juta ton-95 juta ton. Naga-naganya, krisis COVID-19 belum berdampak pada kinerja perseroan pada kuartal pertama 2020 karena penjualan Januari-Februari 2020 masih naik 7,8% atau sebesar 14,3 juta ton, dibandingkan periode yang sama 2019 sebanyak 13,1 juta ton.
"Untuk penjualan Maret mungkin jumlahnya hampir sama sekitar 7,5 jura ton. Sekitar 20-30% biaya produksi kami adalah bahan bakar, apabila kami bisa mendapatkan impor bahan bakar maka seharusnya bisa mengurangi biaya," kata Dileep.
Selanjutnya ketika aktivitas bisnis dunia, terutama China, kembali pulih pada kuartal kedua atau kuartal ketiga, permintaan batu bara pun bakal kembali terdongkrak secara eksponensial setelah tertekan akibat pandemi.